Pasal Penipuan Judi Slot Online

Pasal Penipuan Judi Slot Online

Pasal 490 KUHP – Penipuan dalam Perkawinan

Pasal ini mengatur penipuan yang berkaitan dengan perkawinan, terutama terkait penipuan yang dilakukan dengan tujuan mengelabui pihak lain dalam proses perkawinan. Isi Pasal 490 KUHP:

“Barang siapa dengan maksud menipu, membuat perjanjian nikah atau perkawinan yang tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun.”

Penjelasan: Pasal ini mengatur tentang penipuan yang terjadi dalam konteks pernikahan atau perjanjian perkawinan, yang melibatkan kebohongan atau pemalsuan informasi mengenai status atau persyaratan perkawinan.

Pasal Penipuan dalam KUHP

Tindak pidana penipuan pada dasarnya diatur dalam dalam Pasal 378 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku, dan Pasal 492 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan,[1] yakni pada tahun 2026 mendatang.

Menurut R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, kejahatan yang terdapat pada Pasal 378 KUHP dinamakan “penipuan”, yang mana penipu itu pekerjaannya (hal. 261):

Lebih lanjut, berdasarkan Penjelasan Pasal 492 UU 1/2023, pasal ini adalah ketentuan tentang tindak pidana penipuan, yaitu tindak pidana terhadap harta benda. Perbuatan materiel dari penipuan adalah membujuk seseorang dengan berbagai cara, untuk memberikan barang, membuat utang atau menghapus piutang. Dengan demikian, perbuatan yang langsung merugikan itu tidak dilakukan oleh pelaku tindak pidana, tetapi oleh pihak yang dirugikan sendiri. Perbuatan penipuan baru selesai dengan terjadinya perbuatan dari pihak yang dirugikan sebagaimana dikehendaki pelaku.

Selengkapnya mengenai unsur dan penjelasan pasal penipuan dalam KUHP dan UU 1/2023 dapat Anda simak pada Bunyi dan Unsur Pasal 378 KUHP tentang Penipuan.

Pasal Judi Online dan Unsur Pidana Judi Slot

Pasal 27 Ayat 2 Juncto Pasal 45 Ayat 2 UU ITE menjadi pasal khusus yang mengatur tentang kegiatan perjudian online.

Pasal tersebut memberikan ancaman bagi pihak yang dengan sengaja mendistribusikan atau membuat dapat diaksesnya judi online dengan ancaman pidana penjara maksimal 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.

Selain UU ITE, Pasal 303 bis KUHP juga memberikan ancaman bagi para pelaku judi dengan pidana maksimal 4 tahun dan/atau denda pidana maksimal Rp10 juta.

Kemudian dalam Pasal 303 KUHP juga memberikan ancaman dengan hukuman pidana maksimal 10 tahun atau denda paling banyak Rp25 juta.

Lebih dari itu, pelaku yang dengan sengaja melanggar Pasal 45 Ayat 1 UU Nomor 11 Tahun 2000 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, terancam bisa didenda hingga Rp1 miliar.

Kontributor: Imanudin AbdurohmanPenulis: Imanudin AbdurohmanEditor: Dipna Videlia Putsanra

Pasal 378 KUHP – Penipuan Umum

Pasal 378 KUHP adalah pasal utama yang mengatur tentang tindak pidana penipuan dalam hukum pidana Indonesia. Pasal ini mengatur mengenai tindakan yang dilakukan dengan cara menipu seseorang untuk mendapatkan keuntungan secara tidak sah. Isi Pasal 378 KUHP:

“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, atau dengan tipu muslihat, atau rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu, atau memberikan hutang, yang dapat mendatangkan kerugian, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”

Penjelasan: Pasal ini mengatur tentang penipuan dengan menggunakan modus operandi seperti menyamar menggunakan identitas palsu, memberikan informasi yang salah, atau melakukan tindakan yang membujuk korban untuk menyerahkan harta benda atau memberikan pinjaman. Hukuman bagi pelaku penipuan ini adalah penjara maksimal 4 tahun.

Pertanggungjawaban Pidana

Mengutip Pound, Romli Atmasasmita dalam buku Perbandingan Hukum Pidana (hal. 65) menerangkan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah dirugikan.

Masih perihal pertanggungjawaban pidana, Roeslan Saleh dalam buku Pikiran-Pikiran tentang Pertanggungjawaban Pidana (hal. 33) menerangkan bahwa pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu.

Adapun yang dimaksud dengan celaan objektif adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang tersebut merupakan perbuatan yang dilarang oleh hukum, sedangkan celaan subjektif adalah orang yang melakukan perbuatan yang dilarang atau bertentangan dengan hukum (hal. 33).

Merujuk pada permasalahan Anda, apabila orang yang merekomendasikan tidak mengetahui kasus penipuan atau niat jahat yang akan dilakukan oleh orang yang direkomendasikannya, maka orang yang merekomendasikan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban.

Namun, apabila orang yang merekomendasikan ini mengetahui adanya niat jahat kemudian bersekongkol atau melakukan pemufakatan jahat, dan ikut serta dalam melakukan upaya penipuan serta memenuhi unsur tindak pidana penipuan, maka orang yang merekomendasikan dapat dikategorikan sebagai orang yang turut serta dalam melakukan pasal penipuan dan dapat diminta pertanggungjawaban.

Hal ini ditegaskan dalam Pasal 55 ayat (1) KUHP, yang menyatakan bahwa yang dipidana sebagai pelaku tindak pidana adalah:

Perlu diingat bahwa pertanggungjawaban pidana hanya berlaku bila seseorang melakukan sebuah tindak pidana. Oleh karenanya, apabila orang yang merekomendasikan tidak turut serta melakukan tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang direkomendasikannya, maka ia tidak dapat dimintai pertanggungjawaban baik secara pidana maupun perdata. Melainkan orang yang merekomendasikan hanya bertanggung jawab secara moral atas tindakan orang yang direkomendasikannya.

Demikian jawaban kami seputar pasal penipuan dan sanksi hukum yang mungkin dijatuhkan pada orang yang merekomendasikannya, semoga bermanfaat.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

tirto.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah memblokir sebanyak 4.921 rekening bank yang dipakai judi online. Langkah ini diambil dengan dasar hukum yang telah termaktub dalam KUHP.

Diwartakan Antara News, menurut Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, Mahendra Siregar, langkah itu diambil setelah pihaknya menerima data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

Usai memblokir ribuan rekening bank yang terindikasi terlibat judi slot online itu, OJK juga menginstruksikan perbankan agar melakukan verifikasi, identifikasi, tracing, dan profiling terhadap daftar pemilik rekening yang diduga terlibat judi online.

Kemudian OJK juga meminta industri jasa keuangan agar melakukan hal yang sama guna melacak dan mengidentifikasi masyarakat yang terindikasi melakukan transaksi untuk bermain judi slot.

Beberapa waktu lalu pihak polisi juga telah menangkap 3.145 tersangka yang terindikasi terlibat dalam aktivitas judi slot online sejak tahun 2023 hingga 2024.

Dalam keterangan resminya, Polri merincikan bahwa di tahun 2023 kemarin terdapat sekitar 1.196 kasus terkait judi online. Sedangkan di tahun 2024 sebanyak 792 kasus.

Proses pemberantasan judi online ini terus digencarkan pemerintah dengan melibatkan berbagai elemen.

Dalam menjalankan langkah tersebut tentunya baik kepolisian maupun kementerian lainnya didasari payung hukum yang melekat pada KUHP tentang pemberantasan judi.

Tak hanya itu, bagi pelaku yang terlibat dalam aktivitas judi online ini berpotensi dijatuhi hukum pidana.

Artinya, kasus judi slot online ini bukanlah masalah biasa, sebab dampaknya bisa merugikan pribadi, lingkungan, hingga negara.

Pasal 372 KUHP – Penggelapan dalam Jabatan

Meskipun tidak sepenuhnya masuk dalam kategori penipuan, pasal ini mengatur tentang penggelapan yang berkaitan dengan jabatan atau kepercayaan, yang seringkali juga disertai dengan tindakan penipuan. Isi Pasal 372 KUHP:

“Barang siapa yang dengan sengaja menggelapkan barang yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, yang dipercayakan kepadanya, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”

Penjelasan: Pasal ini berkaitan dengan penggelapan yang sering terjadi dalam konteks pekerjaan atau jabatan. Meskipun bukan penipuan dalam arti yang luas, penggelapan ini bisa melibatkan manipulasi atau kebohongan terkait harta yang dikelola.

Bentuk Penipuan Online

Dalam kasus penipuan online, kerugian tidak hanya dirasakan konsumen saja, melainkan juga pelaku usaha. Berikut adalah beberapa bentuk penipuan online dalam bidang jual beli yang lazim terjadi:

Pasal tentang Penipuan Online

Pada dasarnya, penipuan online merupakan tindak pidana yang sama dengan penipuan konvensional yang diatur baik dalam KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan dan RKUHP 2022 yang telah mendapatkan persetujuan bersama antara Presiden dan DPR (“RKUHP”) yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan, yakni pada tahun 2025 mendatang.

Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan menggunakan nama palsu atau martabat palsu; dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam, karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.

Setiap orang yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau kedudukan palsu, menggunakan tipu muslihat atau rangkaian kata bohong, menggerakkan orang supaya menyerahkan suatu barang, memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapus piutang, dipidana karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu Rp500 juta.

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV yaitu Rp200 juta, penjual yang menipu pembeli:

Hanya saja, yang menjadi pembedanya adalah media yang digunakan. Menurut Asril Sitompul, penipuan online dalam e-commerce merupakan penipuan yang menggunakan internet untuk keperluan bisnis dan perdagangan sehingga tidak lagi mengandalkan basis perusahaan yang bersifat konvensional dan nyata.

Adapun UU ITE dan perubahannya tidak mengatur eksplisit mengenai penipuan online. Berikut ini bunyi Pasal 28 ayat (1) UU ITE yaitu setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik dipidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.

Namun untuk menentukan apakah seseorang melanggar Pasal 28 ayat (1) UU ITE atau tidak, terdapat beberapa pedoman implementasi yang harus diperhatikan sebagai berikut.

Perbedaan Pasal Penipuan dan Penggelapan

Lantas, menjawab pertanyaan Anda, apa perbedaan penipuan dan penggelapan? Untuk mempermudah pemahaman Anda, kami merangkum perbedaan pasal penggelapan dan penipuan dalam bentuk tabel berikut.

Sedari awal, pelaku membujuk korban untuk menyerahkan atau memberikan barang. Penipuan baru selesai saat korban menyerahkan barang sebagaimana dikehendaki pelaku.

Pasal 64 KUHP – Pemberatan Hukuman dalam Penipuan Berulang

Pasal ini memberikan ketentuan tentang pemberatan hukuman bagi pelaku penipuan yang melakukannya berulang kali atau dalam skala yang lebih besar. Isi Pasal 64 KUHP:

“Apabila perbuatan penipuan dilakukan oleh pelaku yang telah berulang kali melakukannya atau dengan cara yang lebih terorganisir, maka pidana yang dijatuhkan dapat lebih berat dari ketentuan yang ada.”

Penjelasan: Pasal ini memberikan kemungkinan pemberatan hukuman bagi pelaku penipuan yang terbukti melakukan tindak pidana penipuan secara berulang atau dalam bentuk yang lebih terstruktur, seperti penipuan dengan modus tertentu yang lebih rumit.

Terima kasih atas pertanyaan Anda.

Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran ketiga dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Arsil dan pertama kali dipublikasikan pada 10 Januari 2011, dan dimutakhirkan pertama kali pada 6 Januari 2023, kemudian dimutakhirkan kedua kali oleh Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H. pada 12 Desember 2023.

Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.

Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

Pada dasarnya, pasal penipuan dan penggelapan diatur dalam pasal-pasal yang berbeda dalam KUHP  lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan, serta UU 1/2023 yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan,[1] yakni pada tahun 2026. Jadi, untuk menjerat pelaku penipuan dan penggelapan pasal berapa dalam KUHP dan UU 1/2023? Berapa tahun ancaman penipuan dan penggelapan? Berikut ini kami jelaskan satu per satu.

Jika muncul pertanyaan tindak pidana penipuan pasal berapa? Berikut bunyi Pasal 378 KUHP dan Pasal 492 UU 1/2023 yang mengatur tentang penipuan:

Dari bunyi pasal penipuan di atas, apa unsur Pasal 378 KUHP?

Menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 261), kejahatan pada Pasal 378 KUHP dinamakan penipuan, yang mana penipu itu pekerjaannya:

Selain itu, berdasarkan Penjelasan Pasal 492 UU 1/2023, perbuatan materiel dari penipuan adalah membujuk seseorang dengan berbagai cara yang disebut dalam ketentuan ini, untuk memberikan sesuatu barang, membuat utang atau menghapus piutang. Dengan demikian, perbuatan yang langsung merugikan itu tidak dilakukan oleh pelaku tindak pidana, tetapi oleh pihak yang dirugikan sendiri. Perbuatan penipuan baru selesai dengan terjadinya perbuatan dari pihak yang dirugikan sebagaimana dikehendaki pelaku.

Barang yang diberikan, tidak harus secara langsung kepada pelaku tindak pidana tetapi dapat juga dilakukan kepada orang lain yang disuruh pelaku untuk menerima penyerahan itu.[3]

Penipuan adalah tindak pidana terhadap harta benda. Tempat tindak pidana adalah tempat pelaku melakukan penipuan, walaupun penyerahan dilakukan di tempat lain. Dengan kata lain, saat dilakukannya tindak pidana adalah saat pelaku melakukan penipuan.[4]

Adapun barang yang diserahkan dapat merupakan milik pelaku sendiri, misalnya barang yang diberikan sebagai jaminan utang bukan untuk kepentingan pelaku. Penghapusan piutang tidak perlu dilakukan melalui cara hapusnya perikatan menurut KUH Perdata.[5]

Contoh penipuan misalnya perbuatan pelaku yang menghentikan untuk sementara pencatat kilometer mobil sewaannya, sehingga pemilik mobil memperhitungkan jumlah uang sewaan yang lebih kecil daripada yang sesungguhnya.[6]

Ketentuan ini menyebut secara limitatif daya upaya pelaku yang menyebabkan penipuan itu dapat dipidana, yaitu berupa nama atau kedudukan palsu, penyalahgunaan agama, tipu muslihat dan rangkaian kata bohong. Antara daya upaya yang digunakan dan perbuatan yang dikehendaki harus ada hubungan kausal, sehingga orang itu percaya dan memberikan apa yang diminta.[7]

Selengkapnya mengenai penjelasan pasal penipuan dapat Anda temukan dalam Bunyi dan Unsur Pasal 378 KUHP tentang Penipuan.

Setelah memahami penerapan pasal penipuan, berikut bunyi Pasal 372 KUHP dan Pasal 486 UU 1/2023 yang mengatur tentang penggelapan:

Lantas, apa saja unsur Pasal 372 KUHP?

Adapun unsur-unsur Pasal 372 KUHP menurut P.A.F Lamintang pada bukunya Delik-Delik Khusus Kejahatan-Kejahatan terhadap Harta Kekayaan adalah sebagai berikut (hal. 105):

Lalu, timbul pertanyaan apa perbedaan pencurian dan penggelapan? Pada dasarnya, dalam tindak pidana penggelapan, barang yang bersangkutan sudah dikuasai secara nyata oleh pelaku tindak pidana. Hal ini berbeda dengan pencurian di mana barang tersebut belum berada di tangan pelaku tindak pidana.[10]

Hal ini pun sama seperti yang dijelaskan R. Soesilo (hal. 258), bahwa dalam pencurian barang yang dimiliki masih belum berada di tangan pencuri dan masih harus diambilnya. Sedangkan pada penggelapan, waktu dimilikinya barang tersebut sudah ada ditangan si penggelap, tidak dengan jalan kejahatan.

Kemudian, saat timbulnya niat untuk memiliki barang tersebut secara melawan hukum, juga menentukan perbedaan antara penggelapan dan pencurian. Apabila niat memiliki sudah ada pada waktu barang tersebut diambil, maka perbuatan tersebut merupakan tindak pidana pencurian. Sedangkan pada penggelapan, niat memiliki tersebut baru ada setelah barang yang bersangkutan untuk beberapa waktu sudah berada di tangan pelaku.[11]

Unsur tindak pidana penggelapan lainnya adalah bahwa pelaku menguasai barang yang hendak dimiliki tersebut bukan karena tindak pidana, misalnya suatu barang yang berada dalam penguasaan pelaku tindak pidana sebagai jaminan utang piutang yang kemudian dijual tanpa izin pemiliknya.[12]

Penjelasan pasal penggelapan dapat Anda baca selengkapnya di Bunyi Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan dan Unsurnya.